Azan Bilal yang Tercekat, Rindu Besar kepada Nabi Muhammad

Oleh Afwan Abdul Basit - Syiar.com
28 Mei 2024 17:37 WIB
Ilustrasi

Syiar.com - Pada satu waktu Bilal memutuskan untuk pensiun. Ia minta izin undur diri, purna tugas sebagai muadzin. Meski Abu Bakar tidak sanggup melepaskan, kendati umat Islam tak kuat lagi adanya sebuah kehilangan, Bilal teguh pada kemauan. Ia akan pergi dari Madinah.

Keputusan memang berat. Tapi, mau bagaimana lagi? Bilal sudah ambil timbangan. Beliau rupanya kehilangan semangat. Bukan musabab dari dalam diri, melainkan kenyataan pahit tiadanya lagi Sang Panutan.

Putra dari Rabbah itu merasa kehilangan yang amat mendalam setelah Nabi Muhammad shallahu 'alaihi wa sallam mangkat ke haribaan-Nya. Bilal merasa tak kuat lagi, kenangan mengoyak dirinya dari segala sisi. Kerinduan sudah tak terperi. Apa mau dikata, pada saat itu ia sudah merasa sendiri. Junjungannya sudah tak di depan matanya lagi. Orang yang ia cintai telah pergi.

Masjid Bilal bin Rabbah, Madinah. X.com/@obofili Masjid Bilal bin Rabbah, Madinah. X.com/@obofili

Cinta Bilal kepada Rasul memang tidak bertepuk sebelah tangan. Syahdan, Rasul juga menyayangi Bilal. Rasa cintanya bukan 'kaleng-kaleng'.

Cinta itu masih terasa meski Rasulullah sudah tiada. Ketika Bilal telah bertahun-tahun tinggal di Negeri Syam untuk menyendiri setelah pindah dari Madinah, Nabi mengunjunginya lewat mimpi.

"Alangkah keringnya hatimu wahai Bilal. Sudah lama engkau tidak berjumpa denganku. Tidakkah engkau rindu terhadapku?"

Bilal terperanjat. Singkat cerita, ia bergegas pulang ke Madinah untuk berziarah ke makam Rasul. Dalam satu momen kepulangannya itu pula, Hasan dan Husein, cucu kembar kesayangan Nabi, meminta Bilal kembali mengumandangkan adzan. Bilal, sekali lagi, menjadi menara sekaligus pengingat bagi mereka yang diwajibkan salat.

Nyatanya kumandang adzan memang sungguh berat buat Bilal. Ia kembali didera kerinduan mendalam. Ketika lantunannya tiba di penggalan Asyhadu Anna Muhammad ar-Rasulullah, tenggorokannya tercekat. Segala kenangan merasuki kepala, gumpalan air mata tak mampu lagi dibendung. Bilal kembali teringat junjungan yang amat ia cintai. Junjungan paling hebat yang sudah mengangkat derajat kemanusiaannya. Dialah Muhammad, sang pendobrak zaman, rahmat bagi seluruh alam.

Semua sudah tahu, para penulis riwayat telah mufakat; Bilal bin Rabbah radhiyallahu anhu adalah satu dari sahabat terdekat Rasulullah. Ia adalah simbol sebuah kemerdekaan. Representasi dari sebuah keteguhan iman. Ahad, Ahad, Ahad, menjadi sebuah manifestasi betapa konsistensi layak diperjuangkan meski didera selaksa siksaan.

Masjid Bilal bin Rabah, Kuwait. Dokumentasi <i>Kuwait Times.</i> Masjid Bilal bin Rabah, Kuwait. Dokumentasi <i>Kuwait Times.</i>

Kisah Bilal menjadi gambaran paling purba derajat kemanusiaan yang ditinggikan Islam. Dari cerita perjalanan hidup Bilal, kita paham bahwa Rasul tidak memandang warna kulit dan kelas sosial sebagai sebuah masalah. Hidup bukan lagi dicacah pangkat dan harta sebagaimana laku jahiliyah kaum Quraisy masa itu, melainkan takwa dan istiqamahnya kepercayaan terhadap Yang Maha Esa.

Tapi kemudian kita seakan alpa. Kisah Bilal jadi semacam dongeng belaka. Masuk kuping kanan, keluar kuping sebelahnya, sambil terus memicingkan mata pada manusia yang beda warna, beda bangsa. Rasialisme merajalela. Bahkan, ketika kita mengaku masih satu iman dan satu Islam. Padahal, Allah sudah bersabda:

ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺇِﻧَّﺎ ﺧَﻠَﻘْﻨَﺎﻛُﻢْ ﻣِﻦْ ﺫَﻛَﺮٍ ﻭَﺃُﻧْﺜَﻰ ﻭَﺟَﻌَﻠْﻨَﺎﻛُﻢْ ﺷُﻌُﻮﺑًﺎ ﻭَﻗَﺒَﺎﺋِﻞَ ﻟِﺘَﻌَﺎﺭَﻓُﻮﺍ ﺇِﻥَّ ﺃَﻛْﺮَﻣَﻜُﻢْ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃَﺗْﻘَﺎﻛُﻢْ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.” (Al-Hujurat: 13).

Ilustrasi Bilal bin Rabbah mengumandangkan azan, Siyer-i Nebi, Kerajaan Ottoman, circa 1500 masehi. Ilustrasi Bilal bin Rabbah mengumandangkan azan, Siyer-i Nebi, Kerajaan Ottoman, circa 1500 masehi.

Adakah kita masih ingkar bahwa Bilal manusia yang sempurna dengan kemanusiaannya? Adakah kita sering lupa betapa Nabi Muhammad menyayangi Bilal tanpa melihat rupa dan warna kulit? Bilal yang dalam hatinya hanya Allah, semurni cintanya kepada Rasulullah, tak harus rendah derajat hanya karena kulitnya yang hitam.

Atau, mungkin juga kita lupa bahwa Bilal punya jasa; memberi contoh keteguhan hati dalam ketauhidan, dan mengingatkan umat dengan lantunan adzan?

Semestinya kita sadar bahwa kita jelas-jelas punya utang rasa. Dengan adanya Bilal, kita tahu adzan memang dibutuhkan untuk mengingatkan kita dari segala lupa dan sikap alpa. Ahad, Ahad, Ahad!

Wallahu 'alam.

Bagikan:

Data

Place your ads here

Komentar (0)

Login to comment on this news

Updates

Popular

Place your ads here
Data
Pointer
Interaktif
Program
Jobs
//