Tradisi Debat dalam Sejarah Intelektual Islam
SYIAR.COM - Budaya perdebatan telah dipraktekkan oleh umat Islam berabad-abad sebelum berinteraksi dengan karya dialektika Aristoteles.
Mereka menggambarkan tradisi argumentatif ini dengan berbagai konsep, seperti al-hijā’ (satire) dan al naqā’iḍ (flytings/kompetisi dalam puisi), mujādalah (polemik) dalam konteks Qur’an, khilāf (disagreement/perbedaan pandangan), dan jadal (dialectical/debat) dalam ilmu hukum dan teologi.
Dilansir dari laman Muhammadiyah.or.id, Kamis (30/05/2024), dibahas mengenai jadal. Rujukan utamanya ialah tulisan Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Mohammad Syifa Amin Widigdo yang berjudul “Aristotelian Dialectic, Medieval Jadal, and Medieval Scholastic Disputation”.
Artikel yang ditulis dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini terdapat dalam The American Journal of Islamic Social Sciences volume 35 Nomer 4 yang terbit tahun 2018. Dalam tulisan ini, Syifa menguraikan aspek historis dari jadal dalam tradisi sejarah intelektual Islam.
Pengaruh Aristoteles terhadap intelektual Muslim dimulai saat para sarjana, terutama teolog (mutakallimūn), pertama kali menghadapi karya dialektika Aristoteles. Khalifah al-Mahdī (w. 169/785) memerintahkan untuk menerjemahan buku Aristoteles “Topics” pada tahun 165/782. Ia juga meminta para teolog Muslim merespons argumen golongan heretik (pelaku bid'ah) dan skeptis (para filsuf) dengan mengintegrasikan dialektika (jadal) dalam praktik dan karya ilmiah mereka. Tujuannya hanya satu: membela akidah Islam.
Yaḥyā b. Muḥammad b. Isḥāq b. Rīwandī (w. 298/910), atau lebih dikenal sebagai Ibn Rīwandī, seorang teolog terkemuka, menulis risalah berjudul “Ādāb al-Jadal” pada akhir abad ketiga atau awal abad keempat. Setelah itu, tulisan-tulisan jadal teologis lainnya muncul, baik untuk mengkritik atau membela Ibn Rīwandī, seperti dalam kasus al-Kaʿbī al-Balkhī (w. 319/931) dan al-Asyʿarī (w. 319/931). Tulisan-tulisan tersebut lebih fokus pada pengembangan teori jadal, dengan tujuan mencapai kebenaran, mengalahkan lawan, atau membela posisi teologis tertentu dari tantangan eksternal.
Beberapa teolog yang menulis tentang jadal termasuk Abū Manṣūr al-Māturīdī (w. 332-6/944-8), Ibn Wahb al-Kātib (sekitar 335/946), al-Muṭahhar b. Ṭāhir al-Maqdisī (sekitar 355/966), Abū Bakr Muḥammad Ibn Furāk (w. 406/1015), Ibn Ḥazm (w. 456/1064), dan al-Khātib al-Baghdādī (w. 463/1071).
Periode ini mencerminkan perkembangan yang signifikan dalam penggunaan dan pemahaman jadal di kalangan intelektual Muslim, menandai tahap awal dalam formulasi teori jadal mereka sendiri.
Pengembangan karya tentang jadal oleh para teolog Muslim, meskipun mencakup tujuan apologetik, memiliki klaim normatif bahwa jadal dapat mencapai kebenaran.
Dalam hal ini, para teolog Islam berusaha membedakan tujuan dialektika mereka dari dialektika Aristoteles. Jika tujuan dialektika Aristoteles adalah untuk menunjukkan kontradiksi dalam penalaran lawan agar seseorang bisa memenangkan perdebatan; para sarjana Islam menyatakan bahwa tujuan mereka melalui pengembangan praktik dan teori jadal adalah untuk mencapai kebenaran.
Demi mencapai kebenaran, para teolog Muslim memodifikasi pertanyaan-pertanyaan dialektika Aristoteles, yaitu pertanyaan “ya” atau “tidak” yang bersifat membatasi (erotema), menjadi pertanyaan yang lebih terbuka (pusma) yang memerlukan jawaban lebih panjang.
Selain itu, mereka beralih dari pertanyaan logis yang menilai validitas logis lawan menjadi pertanyaan epistemik yang mencari pengetahuan dan buktinya. Dengan demikian, pendekatan ini mencerminkan upaya para sarjana Muslim untuk mencapai kebenaran substantif melalui penerapan jadal.
Para sarjana Islam tidak sepakat bila jadal yang merupakan jalan mencari kebenaran menggunakan cara-cara yang nir-adab. Jadal yang memiliki motif-motif nir-etika ini biasanya tumbuh dalam genre teologis ketimbang hukum. Abū Bakr al-Qaffāl al-Syāsyī (w. 365/976) lantas membedakan antara “jadal terpuji” yang tujuannya mencari kebenaran; dan “jadal tercela” yang hanya bertujuan untuk menang.
“Jadal yang terpuji” merupakan cara yang tepat dalam mencapai kebenaran yang substantif; sementara “jadal yang tercela” hanya akan berujung pada permusuhan yang kontraproduktif.
Para ulama kemudian menulis buku tentang aturan “jadal yang terpuji” dalam konteks wacana hukum. Beberapa di antaranya al-Qaffāl al-Syāsyī (w. 365/976), Abū al-Ḥusayn al-Ṣaymirī (w. 436/1044), Ibn Ḥazm (w. 456/1063), Abū al-Walīd al-Bājī (w. 474/1081), Abū Bakr al-Khaffāf (sekitar abad ke-4/10), Abū Isḥāq al-Syīrāzī (w. 476/1083), Abū al-Wafā’ b. ʿAqīl (w. 513/1119). Pengembangan teori jadal pada periode ini mencapai puncaknya, menurut Wael B Hallaq, dengan kehadiran Imam al-Ḥaramayn al-Juwaynī (w. 478/1085).
Al-Juwaynī bukan hanya seorang ahli fikih (faqīh), tapi juga seorang teolog (mutakallim) yang menulis risalah-teologi berpengaruh seperti Kitāb al-Irsyād dan al-Syāmil fī uṣūl al-dīn. Beliau mengikuti madzhab Syāfiʿī dalam fikih (hukum) dan madzhab Asyʿarī dalam kalām (teologi).
Beliau merumuskan teori dialektika yang terorganisir secara sistematis dalam al-Kāfīyah fī al-jadal, yang kemudian juga diterapkan dalam karya-karya kalām dan fikihnya. Dalam konteks ini, sebagai seorang faqīh dan mutakallim, Imam al-Ḥaramayn menggunakan “jadal yang terpuji” baik dalam pengaturan hukum maupun teologi.
Al- Juwaynī mendefinisikan jadal (baik dalam pembahasan fikih maupun teologi) sebagai “jadal yang bertujuan mencari kebenaran dan mengungkap kebohongan, bercita-cita mendapatkan petunjuk ilahi, bersama mereka yang ingin kembali kepada kebenaran dari kebatilan.” Kebenaran, kata Imam al-Ḥaramayn, adalah al-tsubūt (kepastian atau keyakinan). Tingkat al-tsubūt yang dihasilkan dari proses jadal adalah “keyakinan yang lebih kuat” (ghalabat al-ẓann), yaitu adanya adanya kepastian epistemologis (qaṭʿī) dan kepastian psikologis (al-yaqīn).
Dengan kata lain, meskipun dialektika Aristoteles memiliki pengaruh terhadap para sarjana Islam pada Abad Pertengahan, namun mereka mampu memodifikasinya agar sesuai dengan kepentingan umat Islam. Mereka sukses mengembangkan gagasan “jadal yang terpuji” yang tidak bertujuan untuk mengalahkan pihak lawan secara retoris dengan maksud memperoleh ketenaran, kekayaan, atau prestise.
Dalam Islam, tradisi jadal diarahkan pada usaha untuk memperoleh kebenaran. Dengan konteks ini, kebenaran yang diupayakan mencakup dimensi epistemik dan psikologis.
Komentar (0)
Login to comment on this news