Kebaikan Umat Islam Menuntun Catherine Jadi Mualaf

Oleh Admin - Syiar.com
28 Mei 2024 14:33 WIB
Mualaf

SYIAR.COM - Ayah Catherine Ortega saat itu berusia 23 tahun ketika dia sedang berjalan di jalan yang sibuk di Bronx, New York, dan dia bertemu dengan seorang pria lanjut usia yang sedang memindahkan kotak-kotak dari truk.

Pria itu melihat ayah Catherine dan bertanya apakah dia bisa membantunya. Ayahnya membantu pria itu memindahkan semua kotak. Kemudian pria itu meminta maaf karena tidak bisa menawarkan bantuan apa pun kepada ayah Catherin, lalu dia berkata, “tunggu sebentar.”

Dia membuka salah satu dari banyak kotak dan mengeluarkan sebuah buku yang indah. 

"Dia memberi tahu ayah saya bahwa itu adalah Al-Quran dan dia berharap dia meluangkan waktu untuk membacanya," tutur Catherine Ortega dilansir di About Islam, Selasa (28/05/2024). 

Menurut Catherine, itulah saat pertama kalinya ayahnya mengenal Islam. Sebagai seorang gadis kecil di tahun-tahun mendatang, Catherine melihat ayahnya berdoa dengan cara berbeda dengan ia dan ibunya yang seorang Katolik.

Kedua orangtuanya kerap berdebat mengenai agama mereka, dan saat itulah ia pertama kali mendengar perspektif baru tentang Yesus yang bukan Anak Tuhan melainkan seorang Utusan. 

"Itu masuk akal bagi saya. Bukankah kita semua adalah anak-anak Tuhan? Mengapa Yesus begitu istimewa? Mengapa Tuhan punya favorit?" tutur Catherine.

Kemudian saat memasuki usia remaja di perguruan tinggi, Catherine mengalami pelecehan verbal dari rekan-rekannya di perguruan tinggi. Padahal menurutnya pakaiannya cukup normal untuk dikenakan oleh perempuan pada umumnya. 

Karena hal itu Catherine mulai lebih memperhatikan wanita Muslim. Ia mulai memperhatikan betapa bersinarnya para wanita ini dan mereka mengenakan pakaian tertutup. Ia menginginkan hal itu.

"Saya ingin diperhatikan untuk saya. Saya selalu yakin bahwa "saya" di dalam, adalah orang yang sangat luar biasa, tetapi pria dan wanita memilih untuk menilai saya berdasarkan tubuh yang saya miliki di luar," tuturnya.

Ia kemudian menghabiskan satu tahun untuk meneliti, membaca, dan bertanya tentang Islam. Dalam waktu tiga bulan, terjadi banyak interaksi yang mendorong dirinya untuk mengucapkan Syahadat.

Pertemuan pertama Catherine dengan keluarga Muslim, ketika ia bekerja di sebuah Hotel sebagai Agen Front Desk. Suatu hari wanita di seberang aula ini melihat Catherine dan berjalan ke arahnya. Dia menangkup wajah Catherine dengan tangannya, dan berkata, “Senyummu paling cerah di ruangan ini. Aku merasa terhubung denganmu.”

Meskipun hal ini mungkin membuat sebagian orang takut, ia selalu percaya, sejak usia muda, bahwa jiwa kita berbicara lebih banyak daripada mulut kita. Ia mengapresiasi momen ini sebagai pertama kalinya seorang perempuan berhijab berinteraksi dengan dirinya.

Baru setelah ia bertemu dengan keluarga Muslim dari Saint Thomas tersebut, barulah ia tahu bahwa ia ingin menjadi seorang Muslim.

"Tidak butuh waktu lama bagi keluarga ini untuk memeluk saya sambil menyanyikan pujian atas kebaikan, kehangatan, dan senyuman saya. Mereka berbicara dengan saya setiap hari dan memancarkan semangat positif," kata Catherine.

Saat itu bulan Ramadhan dan anak bungsu keluarga mereka baru saja datang berkunjung. Setelah shift kerjanya, Catherine terpikir untuk berterima kasih kepada mereka atas kebaikan mereka. Ia memutuskan untuk mencari toko-toko Islam terdekat untuk membeli camilan halal menjelang matahari terbenam.

Ia berkendara satu jam perjalanan dan mencari di tiga toko. Ia akhirnya melakukan banyak pembelian, membeli jilbab dan makanan ringan. 

"Senang rasanya bisa memberi kembali kepada keluarga yang begitu baik kepada saya setiap hari," katanya.

Catherine selalu bertanya-tanya apakah saya masih bisa dituntun kepada Allah jika bukan karena keluarga seperti mereka yang memiliki begitu banyak cinta untuk diberikan kepada dunia.

Semua pertemuan yang menghangatkan hatinya ini menunjukkan kebaikan kepada dirinya. Ketika Catherine pindah dari Amerika ke Eropa, bahkan bertemu dengan orang-orang Muslim yang tidak mempunyai bahasa yang sama dengan dirinya, mereka menemukan kebaikan sebagai bahasa yang sama.

"Ketika orang bertanya kepada saya mengapa saya berpindah agama, terutama pada saat Islam dipandang begitu buruk, saya hanya menjawab dengan kata “kebaikan”. Tindakan kita mempunyai kekuatan di dunia," kata Catherine. (Idealisa Masyrafina)

Place your ads here

Bagikan:

Data

Place your ads here

Komentar (0)

Login to comment on this news

Updates

Popular

Place your ads here
Data
Pointer
Interaktif
Program
Jobs
//