Inflasi Sebabkan Penurunan Nilai Uang, Bolehkah Konversi Hutang ke Emas?
SYIAR.COM - Nilai dari uang kertas (fiat money) yang saat ini kita pakai hampir mengalami penurunan terutama diakibatkan oleh inflasi. Karena itu sebagian masyarakat ada yang punya inisiatif ketika mengutangkan uang, mereka mengkonversinya dengan nilai emas pada waktu itu untuk kemudian dibayar dengan nilai emas yang sama saat jatuh tempo.
Lalu bagaimana fiqih memandang praktek tersebut?
Dosen Fiqh Mu'amalah STAI Sidogiri Ustadz Abdul Wahid Al-Faizin dikutip dari NU Online, Kamis (06/06/2024) menjelaskan, dalam fiqih, mengutangi orang lain dikenal dengan istilah iqradh. Maksud iqradh dalam fiqih adalah:
تمْلِيك الشَّيْء برد بدله من الْمثل حَقِيقَة فِي المثلى وَصُورَة فِي الْمُتَقَوم
Artinya, “Memilikkan sesuatu kepada orang lain dengan dengan syarat mengembalikan gantinya yang sama, yaitu dengan barang yang sama persis untuk barang mitsli dan yang sama bentuknya untuk barang mutaqawwam (dihitung nilainya).” (Muhammad Nawawi Al-Bantani, Nihayatuz Zain, [Beirut, Darul Fikr: 1431H], halaman 240).
Adapun yang dimaksud dengan barang mitsli adalah:
ما حصره كيل، أو وزن وجاز السلم فيه كقطن، ودقيق، وماء ومسك، ونحاس ودراهم ودنانير، ولو مغشوشا، وتمر، وزبيب (وقوله: ما حصره كيل أو وزن) أي ما ضبطه شرعا كيل أو وزن، بمعنى أنه يقدر شرعا بالكيل أو الوزن، وليس المراد ما أمكن فيه ذلك، فإن كل شئ يمكن وزنه، حتى الحيوان، فخرج بذلك، ما يعد كالحيوان، أو يذرع كالثياب
Artinya, “Sesuatu yang dibatasi oleh takaran atau timbangan dan boleh dijadikan objek akad salam seperti kapas, tepung, air, minyak kasturi, tembaga, dirham dan dinar, meskipun tidak murni, kurma dan anggur."
Maksudnya adalah sesuatu yang oleh syariat dibatasi oleh takaran dan timbangan, bukan segala sesuatu yang bisa ditakar atau ditimbang. Karena segala sesuatu bahkan hewan pun tentu bisa ditimbang.
Karena itulah, sesuatu yang oleh syariat dibatasi oleh hitungan seperti hewan atau oleh ukuran seperti baju tidak masuk barang mitsli.” (Abu Bakar Syatha, I’anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: 1431H], jilid III, halaman 163).
Di era sekarang menurut ulama kontemporer, termasuk barang mitsli adalah uang kertas (fiat money) karena telah menggantikan fungsi dari dinar dan dirham. Dalam kitab Syarhul Yaqutun Nafis disebutkan:
والأوراق المالية -أو العملة الورقية التي يتعامل بها الناس اليوم- التحقيق أن لها حكم النقدين فيجب التماثل فيها
Artinya, "Uang kertas yang digunakan oleh manusia saat ini secara pasti memiliki hukum yang ada pada dinar dan dirham. Karena itu, wajib ditukar secara sama (tamatsul)." (Muhammad As-Syathiri, Syarhul Yaqutun Nafis, [Jedah, Darul Minhaj: 2007], halaman 362).
Berdasarkan penjelasan di atas, ketika kita utang uang sebesar Rp 10 juta umpamanya, maka harus dibayar dengan nominal yang sama Rp 10 juta. Tidak boleh dikonversikan ke nilai emas pada waktu itu kemudian diminta membayar nilai emas tersebut saat jatuh tempo. Ini berlaku ketika nilai uang tidak terlalu jatuh anjlok. Adapun ketika terjadi inflasi yang sangat besar, sehingga nilai uang sangat anjlok, maka ada beberapa perbedaan ulama yang insyaallah akan dibahas dalam tulisan tersendiri.
Hal ini berbeda ketika kita mengutangi orang 5 gram emas misalnya, namun kita meminta dibayar dengan uang senilai 5 gram emas saat jatuh tempo. Pada hakikatnya praktik seperti ini adalah mengutangkan 5 gram emas dan dibayar dengan yang sama 5 gram emas. Namun saat pembayaran kita meminta 5 gram emas tersebut ditukar dengan nilai uang pada saat itu atau yang dikenal dengan istilah istibdal.
Imam Ar-Ramli menjelaskan:
وَيجوز الِاسْتِبْدَال عَمَّا فِي الذِّمَّة من ثمن وقرض وَبدل متْلف وَنَحْوهَا فَإِن استبدل مُوَافقا فِي عِلّة الرِّبَا كدراهم عَن دَنَانِير اشْترط قبض الْبَدَل فِي الْمجْلس
Artinya, “Boleh melakukan istibdal (penggantian) terhadap sesuatu yang menjadi tanggungan, baik berupa harga barang dalam jual beli, hutang piutang, penggantian kerusakan atau yang lainnya. Bila pertukaran istibdal tersebut terjadi atas barang yang sama ‘illat ribanya seperti uang dirham dengan dinar, maka disyaratkan harus serah terima di majelis.” (Syamsuddin Al-Ramli, Ghayatul Bayan, [Beirut, Darul Ma’rifah: 1431H], halaman 187).
Di masa Rasulullah praktik istibdal seperti di atas pernah terjadi sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ رُوَيْدَكَ أَسْأَلُكَ إِنِّي أَبِيعُ الْإِبِلَ بِالْبَقِيعِ بِالدَّنَانِيرِ وَآخُذُ الدَّرَاهِمَ قَالَ لَا بَأْسَ أَنْ تَأْخُذَ بِسِعْرِ يَوْمِهَا مَا لَمْ تَفْتَرِقَا وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ
Artinya: “Dari Ibnu Umar, ia berkata; "Saya datang menemui Nabi saw dan mengatakan; "Perlahan, saya akan bertanya kepada engkau. Sesungguhnya saya menjual unta di Baqi' dengan dinar dan mengambil dirham." Beliau bersabda: "Tidak mengapa engkau mengambil harga pada hari itu selama belum berpisah sementara diantara kalian terdapat sesuatu." (HR An-Nasa’i).
Komentar (0)
Login to comment on this news